Text
Meneroka relasi hukum, negara, dan budaya
Begitulah hukum di Indonesia. Ibarat buku tabungan, kondisi hukum, negara, dan budaya di negeri ini seperti rekening dengan saldo yang pas-pasan. Tak seluruhnya gelap memang. Agak remang-remang, tetapi belumlah terang-benderang. Posisi Mahkamah Konstitusi, misalnya, segala putusan yang dikeluarkan lembaga ini kerap disanjung dan dibanggakan, lantaran ia menerobos kebuntuan hukum. Namun, oknumnya tergelincir pula pada korupsi. Akil Mochtar dan Patrialis Akbar adalah contoh yang “baik” dari dua pucuk pimpinan tertinggi lembaga itu yang bertindak busuk dan tak amanah.
Lihatlah nasib buruh migran yang sering digadang-gadang sebagai pahlawan devisa. Negara belum sepenuhnya hadir memberikan perlindungan hukum di mana pun mereka berada. Sungguh paradoks! Demikian pula berbagai anugerah tentang pengetahuan, kearifan lokal, dan norma tradisional di bumi pertiwi ini. Negeri yang membentangkan zamrud khatulistiwa dengan kebesaran budayanya adalah salah satu kebanggaan bangsa. Namun, dari aspek hukum, kekayaan tradisi leluhur itu belum juga banyak tersentuh perlindungan hukum dalam upaya merawat keberkelanjutan melipahnya panji-panji budaya tadi. Dengan demikian, diperlukan kerja keras dan keseriusan pembenahan secara komprehensif kondisi hukum di negeri ini yang centang perenang dan terkesan terkotak-kotak.
Tidak tersedia versi lain